(Jonathan Rian/Yahoo!)
Iwan Fals bisa dikatakan sebagai legenda dunia musik Indonesia. Banyak kritik dan sarannya untuk negeri ini dia salurkan melalui karya-karyanya yang gemilang — yang menyebabkan pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961 ini mengalami pencekalan saat rezim Orde Baru.
Karya-karya tentang kritik sosial dan curahan perasaan memang tidak hilang tertelan pergantian zaman. Lagunya yang berjudul “Belum Ada Judul” diaransemen ulang dan menjadi lagu tema untuk film “Mama Cake”. Berkolaborasi dengan Laduni, lagu yang aslinya dirilis pada 1988 ini terdengar lebih hidup dan tidak terkesan kuno.
Yahoo! OMG! berkesempatan untuk berkunjung ke kediaman Bang Iwan, begitu dia biasa disapa, di kawasan Leuwinanggung, Bogor pada Selasa (28/8) siang. Seperti apa sih standar kesuksesan seorang Iwan Fals? Berikut ini petikan wawancaranya:
Bang, kenapa judulnya "Belum Ada Judul"?
Kenapa bertanya itu? Hahaha. Pernah mendengar Shakespeare, "Apalah artinya sebuah nama"? Mungkin saya terpengaruh itu. Yang penting lagunya saja. Kadang saya itu kurang peduli dengan tanggal, judul. Jika isi perasaan sudah tersampaikan, ya sudah.
Lagu itu lagu lama, 1988 kalau tidak salah. Saat itu saya mengerjakannya cepat sekali. Satu hari selesai. Ada sekitar 12 lagu, tinggal direkam lalu mixing.
Sudah menonton "Mama Cake"? Menurut Bang Iwan?
Saya pernah mengalami suasana seperti itu. Saat saya 18-27 tahun, saat masih pencarian. Sederhana, tapi entah ya di akhir film itu ada kesedihan yang sulit untuk diungkapkan. Begitu saya ditanya sang sutradara tanggapan saya, saya juga agak sulit mengatakan. Sama seperti ditanya, "Manis seperti apa sih, pahit seperti apa sih?". Waktu itu saya baru nonton masih 90 persen.
Kenapa lagu ini sih?
Film itu sudah jadi, dan kata sutradaranya lagu saya yang "Belum Ada Judul" itu menarik. Tapi untuk menyamakannya dengan alur film itu, perlu diulang musiknya. Awalnya kan pakai gitar saja.
Bang Iwan kan kolaborasi dengan Laduni di lagu itu. Apa pendapat Bang Iwan tentang Laduni?
Semoga Laduni tidak cukup puas. Jangan mentok dengan membuat musik dengan digital, tapi bagaimana memberi nyawa ke digital ini. Ini sebagai media saja untuk berekspresi. Kadang-kadang teman-teman yang lain kerap terjebak di digital. Anak zaman sekarang itu berat. Orang makin banyak jumlahnya, saingan makin banyak.
Bang Iwan suka menonton bioskop?
Kadang-kadang. Paling saya suka ikut anak saya. Mereka suka beli DVD, saya ikut menonton saja. Saya suka "The Lady", kemudian ada film tentang kecelakaan pesawat, orang-orangnya hidup tapi terkena salju dan serigala. Lupa saya judulnya.
Film favorit?
"The Lady" saya senang itu. "Sang Pencerah", dan beberapa karyanya Hanung Bramantyo. Film "Tanda Tanya" juga tuh. Waktunya sih [yang sulit]. Kalau nonton kan makan waktu dua jam. Latihan, mau nonton sudah letih, malah ketiduran. Kadang mau baca buku juga tidak ada waktunya. Ingin rasanya punya waktu panjang untuk bisa menikmati film.
Ada tokoh kesukaan Bang Iwan di "Mama Cake"?
Saya suka semua. Tapi kok yang menarik tuh karakternya Herry Chan. Perannya sedikit tapi karakternya kuat.
Mau main film, Bang?
Kalau waktunya banyak sih mau. Sehari kan hanya 24 jam. Waktu habis banyak karena bikin syair, tulisan-tulisan, kemudian tur dari kota ke kota. Kalau menonton film di jalan, rasanya sayang. Perjalanan dari desa ke desa itu menarik juga untuk diamati. Dulu pernah saya main film 1984, bareng Sophan Sophiaan. Sudah lama sekali. Perasaan baru kemarin. Hahaha.
Kenapa sih harus menonton "Mama Cake"?
Yang penting harus diniatkan menonton. Masuklah ke film itu. Yang terjadi, terjadilah. Saat saya menonton itu, seperti ada perenungan di dalamnya. Bagi saya, ada ruang-ruang pribadi yang bisa disentuh lewat film itu. Tapi kalau kita menonton itu sebagai pengamat, takutnya tidak mendapatkan hal itu.
Ada kan orang menonton, sudah bayar mahal, kemudian mengkritisi film yang ditonton. Wajar sih namanya manusia. Anggap saja ini kebesaran Tuhan, ada manusia yang dapat membuat film ini. Nikmati saja. Sedih ya sedih, lucu ya lucu. Sayang sudah buang waktu kalau kita menonton sebagai pengamat. Film itu kan macam-macam, ada yang nyata, ada yang abstrak. Banyak yang mengejutkan dalam hidup, dan bagi saya "Mama Cake" cukup mengejutkan.
Bang Iwan sekarang kalau bikin lagu sudah mulai digital juga?
Kadang-kadang sih. Kan di situ banyak instrumen menarik. Seru juga sih. Tapi itu bahasa Inggris, saya tidak mengerti, jadi akhirnya sering lupa. Sudah berkali-kali diajarkan, tapi lupa melulu. Hahaha.
Menurut Bang Iwan, apa sih standar kesuksesan musisi?
Menurut saya, entah itu musisi entah itu wartawan, tukang becak, segala profesi — samalah standar kesuksesannya. Sejauh mana profesi itu bisa memberikan kebahagiaan. Bukan uang. Uang merupakan imbasnya. Percuma dapat uang dan pengakuan kalau tidak bahagia.
Bahagia tidak datang begitu saja. Harus diraih, bahkan direbut kalau perlu, tanpa melanggar hukum. Kalau melanggar hukum, sudah pasti tidak bahagia kan. Walau terhindar dari hukum, tapi kan di hati kecil pasti merasa dirinya tidak benar. Bagaimana bahagia itu? Apakah saya bahagia? Ya alhamdulillah saya bahagia, tapi bukan berarti sampai situ saja.
Akan bahaya jika seseorang diwawancara seperti ini, ditanya apa yang buat dia bahagia, kemudian dia menjawab bahagia karena uang berlimpah, mobil mewah, rumah bagus. Bahaya bagi anak-anak muda yang membacanya. Nanti mereka malah berpikir, "Ah gue mau jadi pemusik biar dapat harta berlimpah seperti itu." Begitu dia jadi pemusik, dapat harta, ternyata tak bahagia, bagaimana? Akhirnya justru lari ke narkotik.
Saya bersyukur bisa main gitar, menghasilkan uang dari sana. Banyak orang yang tidak bisa memainkan gitar. Tukang becak bisa bahagia? Tentu bisa dong. Habis naik becak, capai, dia makan di warung, dengar dangdut kemudian dia joget di situ. Pulang bawa uang Rp 10 ribu atau Rp 20 ribu, lihat anak-anaknya bercanda. Sederhana tapi bahagia.
Ukuran sukses, dia bisa bahagia dan bersyukur dengan yang dia punya. Orang cacat yang banyak bersyukur, tak ada masalah lagi hidupnya. Fisik itu membuat kita tertipu, kasihan, tapi kita tidak tahu kalau dia ternyata bahagia dengan dirinya. Nah di film "Mama Cake", saya mendapatkan ruang-ruang pribadi seperti ini. Banyak orang yang tidak punya waktu untuk memikirkan hal seperti ini, ukuran kesuksesan, kebahagiaan, pengabdian, persahabatan. Karakter Didi Petet di "Mama Cake", dia hanya penjual rokok di sebuah kios, tapi dia bahagia sekali sepertinya. (Yahoo! OMG!)