Monday, 23 July 2012

Joserizal Jurnalis Pendiri Mer-C



Joserizal Jurnalis (lahir di Padang, Sumatera Barat, 11 Mei 1963; umur 48 tahun) merupakan dokter sekaligus aktivis yang membantu masyarakat korban perang. Jose juga merupakan pendiri organisasi kemanusiaan Mer-C (Medical Emergency Rescue Committe) yang melakukan pertolongan medis dalam wilayah-wilayah konflik dan peperangan. Jose menyelesaikan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan mengambil spesialis bedah umum.
Jose telah melakukan pertolongan dalam beberapa wilayah konflik, antara lain di Maluku, Mindanao, Afghanistan, Irak, dan Gaza. Dalam melakukan tugasnya di daerah konflik Jose sering mengalami keterbatasan peralatan. Di Maluku misalnya, dia harus mengamputasi kaki dengan gergaji kayu. Sementara di Afghanistan, dia sempat kehabisan jarum suntik.

Nama Joserizal Jurnalis selalu muncul di antara korban perang. Namun kemunculannya bukan dengan memanggul bedil atau menyandang golok. Kehadiran Jose selalu membawa jarum suntik dan obat-obatan. Dia selalu ditunggu oleh rakyat sipil maupun korban perang.
Dokter spesialis bedah umum ini memang memilih menghabiskan sebagian hidupnya untuk membantu korban perang. Bukan hanya perang di dalam negeri, beberapa kali pria berusia 40 tahun ini menjalankan misinya di luar negeri.
Seperti yang terjadi di irak, korban perang di Irak menunggu tangan dinginnya. Dengan bekal Rp 200 juta sumbangan dari masyarakat, Jose berangkat ke Bagdad, ibukota Irak, Selasa (1/4) dini hari. Bapak tiga anak ini pergi bersama Fauzi Nasution seorang ahli bedah umum, serta Sarbini dan Yogi Prabowo sebagai dokter umum. Para dokter yang tergabung dalam MER-C (Medical Emergency Rescue Committe) ini berencana berada di Bagdad selama sebulan. Mereka tidak peduli meski hingga jam keberangkatannya belum mendapat ijin masuk Irak. "Kami akan masuk lewat Yordania atau Suriah," kata Jose.

Bagi Jose, Irak bukanlah medan tempur di luar negeri pertama yang dijajalnya. Sebelumnya pengabdiannya telah meringankan korban perang saat terjadi konflik di Mindanao, Philipina. Dua tahun lalu dia masuk ke Afghanistan untuk mengobati rakyat sipil korban serangan Amerika Serikat. Saat itu bersama tim MER-C dia menembus Afghanistan melalui Quetta (perbatasan Afghanistan-Pakistan di sebelah tenggara). Kemudian melanjutkan ke wilayah Selatan hingga Kandahar yang merupakan jantung pertahanan Taliban.

Masih segar dalam ingatan Jose, ketika timnya hendak masuk ke sebuah kota. Saat itu kota di selatan Afghanistan ini mendapat hujan bom. Dia kemudian berdialog dengan pihak Taliban untuk mengeluarkan tim dokter dari kota tersebut demi keselamatan bersama. Namun permintaan itu ditolak. "Jangan dok, masyarakat sudah tahu dokter mau datang. Nanti, kami tidak bisa mengatasi kekecewaan mereka," Jose menirukan jawaban tentara Taliban itu. "Saat-saat seperti itu yang membuat para dokter ini merasa pentingnya kehadiran mereka," kenang Jose.

Perasaan yang sama dirasakannya saat menolong korban konflik atau bencana di tanah air. Konflik berdarah di Tual (Maluku Tenggara), Ambon, Galela, Halmahera, Bengkulu, hingga Aceh merupakan perhatian utama para dokter MER-C.

Peristiwa Maluku merupakan pemicu berdirinya MER-C. Saat terjadi pertumpahan darah di wilayah tersebut, tidak ada satu lembaga internasional yang mau terlibat. "Kami sebagai dokter mempunyai ikatan emosional dengan hal ini. Maka dibentuklah MER-C," katanya tentang lembaga swadaya masyarakat di bidang kegawatdaruratan medis yang baru berusia empat tahun ini. Meskipun MER-C berasaskan Islam, namun di lapangan mereka haram membeda-bedakan korban yang harus ditolong.

Menurut Jose, masalah utama yang dihadapi di kawasan konflik selalu keterbatasan peralatan. Di Maluku misalnya, dia harus mengamputasi kaki dengan gergaji kayu. Sementara di Afghanistan, dia sempat kehabisan jarum suntik. Akibatnya persediaan jarum yang ada dipakai beberapa kali. Masalah baru muncul, karena tidak adanya alat sterilisasi. Maka rebusan air panas dipakainya. "Kalau nggak ada antibiotik, bisa menggunakan madu," paparnya.

Sebagai manusia biasa, Jose mangaku tidak bisa menyembunyikan rasa takut saat berada di medan tempur. Namun baginya hidup dan mati seseorang tidak bakal mundur ataupun maju dari jadwal yang ditetapkan Tuhan. "Tetapi saya juga tidak mau takabur," katanya. Dia tetap memperhitungkan setiap langkah sehingga tidak hanya mengandalkan nekat.

Namun yang dilakukan Jose bersama rekan-rekannya di MER-C tidak hanya melahirkan tanggapan positif. Banyak juga sinisme yang ditujukan pada mereka. Para penentang menuding mereka mencari popularitas. Selain itu muncul pendapat bahwa masih banyak masalah dalam negeri, mengapa harus repot-repot datang ke wilayah konflik di negeri seberang.

Bukan hanya pandangan miring dari pihak luar, langkah Jose pun sempat ditentang keluarganya. Orang tuanya selalu berupaya melarangnya. Begitu pula dengan istrinya yang mencegahnya saat pertama kali hendak berangkat ke Maluku. Namun Jose menganggap dia hanya perlu memberitahu tentang niatnya, tanpa perlu mendapat ijin.

Bisa jadi, bagi Jose inilah saatnya pria kelahiran Padang, Sumatera Barat ini menentukan pilihan penting dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya dia selalu menurut kemauan orang tua. Saat anak-anak dia bermimpi untuk menjadi astronot atau tentara. Saat SMA cita-citanya berubah ingin menjadi ahli nuklir. Namun sang ayah, Jurnalis Kamil mendesaknya untuk menjadi dokter.

Dia pun hijrah ke Jakarta menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gelar dokter diraih pecandu komik Kho Ping Ho ini, 15 tahun lalu. Suatu ketika ibunya mengalami kecelakaan hingga patah kakinya. Operasi yang dijalani bundanya ternyata gagal. Jose kemudian menekuni spesialis bedah tulang. Namun gelar spesialis itu tidak pernah memberikan rasa puas. "Saya baru merasa sebagai dokter sungguhan setelah terjun ke Maluku," kata Jose.

Kehadiran Jose bersama tim MER-C serta Tim Bulan Sabit Yordania (tim dokter Yordania) di Bagdad memang tidak bakal menghentikan perang di Irak. Namun niat mereka menyelamatkan setiap jiwa merupakan sumbangan besar negeri ini bagi rakyat sipil di Irak yang menjadi korban terbesar dalam perang.
 (wikipedia.org dan tempo.co.id)

Baca Juga Yang Ini Sob:

Artikel Terkait

Komentar Facebook
0 Komentar Blogger

0 comments: