Saturday 29 September 2012

Ungkap Kebenaran Dibalik G 30 September / PKI


sumber gambar : aksesdunia.com
mendengar G30S/PKI kita akan terus bertanya tanya ada apa dibalik peristiwa itu. Berbagai sumber dan berbagai versi menjelaskan mengenai perbedaan tersebut bahkan ini yang menjadikan polemik dan pertentangan, Apakah benar ada pengalihan fakta yang terjadi diatas peristiwa tersebut untuk kepentingan pihak tertentu?
Banyak sekali versi dari peristiwa ini dan mari kita bahas

“Sejarah Gerakan 30 September 1965 merupakan sejarah rekayasa. Politisasi sejarah oleh mereka yang ingin melakukan kudeta kekuasaan meski dengan darah serta melukai kemanusiaan. Partai Komunis Indonesia (PKI), tokoh, kader, simpatisan dituduh sebagai dalang penculikan dan pembunuhan enam jenderal.
Walhasil, stigmatisasi terhadap PKI berhasil. Hal-hal berbau PKI wajib dibumihanguskan dari negeri ini. Sejarawan Asvi Warman Adam, mengatakan 500.000 orang yang dicap sebagai PKI dibantai oleh saudara sendiri. Tak terhitung kerugian materi hingga trauma berkepanjangan saudara kita yang (sengaja) di-PKI-kan.
Tragedi berdarah itu menjadi sejarah kelam bagi bangsa ini. Manusia dibunuh tanpa rasa kemanusian dan keadilan. Dituduh PKI, diculik/ditangkap, diperkosa, dan bahkan dibunuh dengan keji dan biadab—adalah trauma masa lalu yang sukar dilupakan dalam bayang ingatan. Memori kelabu yang masih membekas dan mengusik pikiran” Ini yang tertulis di petikan buku Bunga Tabur Terakhir karangan G.M SUDARTA terbitan Galangpress 2011 yang lalu

Dan coba kita lihat dan baca ini artikel yang bersumber dari TEMPO, No. 32/XXXVI/01-07 Oktober 2007, “Buku-buku Soal D.N. Aidit: Setelah Keluar dari Laci Penulis”

Baca Ini
Murad Aidit menuangkan kesaksiannya terhadap sang kakak dalam buku Aidit Sang Legenda. Ia melukiskan Achmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit sebagai aktivis yang habis-habisan membesarkan partai palu arit. Begitu sibuknya, Aidit kurang memperhatikan segala kesulitan yang ia hadapi. ”Bang Amat,” begitu Murad memanggil Aidit, ”adalah kakak yang sungguh tak dapat diharapkan.”
Ia mencontohkan saat meminta uang biaya pernikahan, ia sama sekali tak diberi. Tapi, pada saat yang lain, rasa kesal dan benci kepada Bang Amat tandas ketika Murad tergolek lemah akibat TBC. Dokter memberi Murad obat TBC terbaru dari Swiss, yang belum beredar di Indonesia. Adalah Aidit yang mendapatkan obat itu, mengandalkan jaringan pertemanannya di luar negeri. Cerita pun mengalir. Aidit kali ini disebut sebagai kakak yang sempurna.
Inilah sepenggal kisah haru-biru hubungan kakak-beradik yang ditulis dalam buku 264 halaman yang terbit dua tahun lalu. Tak cuma Murad. Sobron Aidit, adik sepupu Aidit, juga menulis beberapa buku. Begitu pula Ibarruri, putri tertuanya. Iba menyebut sang ayah dalam buku Ibarruri Putri Alam yang terbit tahun lalu sebagai ”manusia yang paling kucintai”.
Buku-buku dari lingkaran terdalam keluarga Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia itu tak mungkin bisa kita baca sepuluh tahun lalu. Kendati sudah mulai ditulis belasan tahun lalu, buku-buku itu hanya teronggok di laci penulis. Kini, di era reformasi, kata sejarawan Asvi Warman Adam, ”Kita bisa lebih mengenal sosok Aidit dari sudut pandang personal.”
Ketika mendengar berita kepastian tewasnya sang Ayah, misalnya, Iba menuliskan, ”Di masa aku remaja, aku tiba-tiba kehilangan manusia yang paling kucintai, kukagumi, yang menjadi teladan dalam cita-cita.” Ibarruri adalah nama pemberian Aidit yang diambil dari nama pemimpin gerakan Komunis Internasional asal Spanyol, Dolores Ibarruri. Dolores terkenal dengan aksi menentang diktator Spanyol, Jenderal Franco.
Meski memuji setinggi langit sang ayah, Iba menyebut Aidit sebagai ayah yang tak mengerti merawat anak. Suatu kali di masa kecil, ia pernah menangis. Aidit yang tak tahu kenapa anaknya menangis terus memberi minum hingga perutnya kembung.
Sejak Soeharto tumbang, buku-buku yang berusaha ”membersihkan” sosok Aidit bebas beredar. Tak hanya tulisan saudara dan anak—yang jelas lebih banyak memunculkan sosok manusia Aidit dan dibumbui emosi karena kedekatan pada sang tokoh—tapi juga penulis atau peneliti yang tak ada hubungan apa pun dengan Aidit. Buku Menolak Menyerah; Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (2005) karya Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah boleh dikelompokkan dalam buku yang tak boleh terbit di masa Orde Baru.
Dalam buku itu, tak ada kesan dalang pembunuhan kejam dan bengis—sifat yang tertanam pada sebagian besar benak orang Indonesia karena dijejali buku-buku sejarah yang memojokkan Aidit—pada sosok politisi yang dikenal dekat dengan Soekarno ini. Buku tersebut bahkan memuat informasi bahwa Aidit terkucilkan dari peristiwa besar G30S/PKI. ”Yang terjadi adalah peristiwa di luar skenario Aidit,” tulis Budi dan Yani. ”Terjadi penyingkiran ke Halim, yang mengakibatkan terputusnya komunikasi.”
Kebanyakan buku yang terbit di era Orde Baru memperkenalkan Aidit sebagai sosok yang pantas dimusnahkan. Buku Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI yang ditulis Todiruan Dydo pada 1989 menyebut Aidit sebagai pemimpin partai licik dan oportunis yang khawatir Angkatan Darat akan berkuasa setelah Soekarno meninggal. Maka Aidit meniupkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Aidit pula yang memerintahkan penangkapan para jenderal.
Buku ini menyebut Aidit sebagai sosok yang amat dekat dengan Soekarno, dan memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingannya sendiri. Aidit dituding sebagai orang yang selalu menjelek-jelekkan tentara di hadapan Soekarno. Ia bahkan dituding sebagai sosok yang menyaring informasi yang akan disampaikan kepada Presiden. Ketika itu, Presiden tidak bisa mengandalkan informasi intelijen karena dalam kalangan tentara sendiri terjadi kesimpang-siuran akibat penyusupan orang-orang PKI.
Aidit adalah dalang G30S/PKI. Demikian buku kontroversial Siapa Menabur Angin akan Menuai Badaiyang dikarang Soegiarso Soerojo pada 1988. Dituliskan bahwa Aidit sebenarnya baru akan merencanakan kudeta pada 1970. Namun dokumen yang berisi instruksi agar seluruh pimpinan PKI bersiap memuluskan rencana itu bocor. ”Seperti disambar geledek di siang bolong, D.N. Aidit yang ketahuan belangnya menjadi sangat marah,” tulis Soegiarso. Inilah yang membuat Aidit mempercepat kudeta menjadi 1965.
Soetopo Soetanto dalam kumpulan tulisan Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunismenyebutkan kelihaian Aidit memanfaatkan tentara untuk membunuh para jenderalnya sendiri. ” Bahwa cara kerja PKI harus konspiratif,” demikian buku ini mengutip konstitusi PKI yang merupakan ide Aidit. Pemimpin Politbiro PKI ini pun memerintahkan infiltrasi ke tubuh militer. Para tentara yang sebelumnya memiliki latar belakang PKI didekati dan dipakai untuk melancarkan kudeta 1965.
Dalam Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Aidit digambarkan sebagai sosok yang anti-Tuhan. Koran-koran berhaluan komunis memproklamasikan Pancasila tanpa sila pertama. ”Juga dalam kesempatan berpidato di depan peserta Pendidikan Kader Revolusi 1964, D.N. Aidit berkata bahwa sosialisme, kalau sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu,” begitu tertulis dalam buku keluaran Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Jakarta.
Tribuana Said dan D.S. Moeljanto dalam Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKImenceritakan buntut panjang pidato Aidit itu. Pers pun terbelah, berbagai golongan mengecam Aidit. Pro-kontra berakhir setelah Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh memerintahkan semua pihak menghentikan polemik pidato tersebut. Aidit pun sempat mengatakan bahwa pidatonya dipelintir harian Revolusioner, padahal ia tidak bermaksud mengatakan bahwa Pancasila tak lagi diperlukan.
Ini tak jauh berbeda dengan buku-buku pelajaran sekolah yang memuat versi pemerintah Orde Baru. BukuSejarah Nasional Indonesia, misalnya, jelas-jelas menyebut PKI dan Aidit sebagai dalang tunggal peristiwa 1965. Buku yang antara lain dikarang oleh Nugroho Notosusanto itu menuai kontroversi karena menghujat Soekarno dan menyanjung Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Di buku itu, juga buku-buku pelajaran lain, digambarkan sosok Aidit yang kejam, bengis, dan tak percaya pada Tuhan alias ateis.
Dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu, ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat sebagai pahlawan.
sumber Tempointeraktif.com "Yang Terbaik Lalu Terbalik"

Dan sumber dari artikel Tempointeraktif.com Yang Terbaik Lalu Terbalik
Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun kemudian.

Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam. Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno.

Namun, kali ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di semua negara. Karena tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing-masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.

Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B. Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah digadang-gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak tugas tersebut dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.

Batalion ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.

Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini. Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.

Setahun kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih. Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi. 
 Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, ujar Suhardi kepada Tempo, ia—saat itu kapten—menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur. "Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-duanya tidak ada."

Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksi makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat gerakan Untung hanya 86 orang.

Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. Menurut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim diambil semata-mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang mangkal di sana.

Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno.

"Itu kebohongan yang menjijikkan," ujar Maulwi. "Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya 86 orang." Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. Tapi ini berkat informasi dari agen polisi Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan kemudian ditemukan oleh pasukannya. Ketika memeriksa lokasi yang disebut Sukitman—yang sudah mereka serahkan ke Kostrad—pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.

Gara-gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng-moreng oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.

Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. "Tugas kalian sudah selesai," kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya. Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.

Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan lamanya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata disisihkan. "Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan," ujar Maulwi. "Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di posisi salah."

"Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad," Maulwi menambahkan. "Tjaduad hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak... seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan."


Seperti yang disebutkan juga dari "Menguak Tabir Peristiwa 01 Oktober 1965 Mencari Keadilan" himpunan Chynta Wirantaprawira menyebutkan

Baca Selengkapnya
Tragedi 30 September telah terjadi 40 tahun yang lalu. Banyak fakta objektif yang
bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri; antara lain keterlibatan PKI; ambiguitas
Soekarno; intrik dalam tubuh militer (khususnya AD); serta kedekatan hubungan
personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto, Pangkostrad/
Pangkopkamtib.
G 30 S juga tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa peristiwa tersebut
menjadi triggering factor bagi operasi paling efektif pembasmian suatu ideologi di
sebuah negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak
terlibat langsung dengan komunisme -- misalnya melarang anak-anak eks tapol 
untuk menjadi pegawai negeri -- juga merupakan cara yang efektif untuk menutup
kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri ini. 
Telah banyak penelitian, kajian ataupun  literatur yang mengkaji collapse-nya
komunisme di Indonesia, baik yang ditulis oleh pakar dari luar negeri maupun dalam
negeri. Berbagai versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang
ada dalam penulisan mengenai peristiwa tersebut, masing-masing adalah sebagai
berikut :

a. Pelaku Utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus 
Dengan memperalat unsur ABRI, tokoh-tokoh Biro Khusus PKI merencanakan
putsch ini sejak lama. Tujuannya untuk merebut kekuasaan dan menciptakan
masyarakat komunis di Indonesia. Tentu saja, pemerintah Orba adalah pihak yang
pertama kali menyetujui teori pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 S/PKI
yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara (1994) merupakan penjelasan secara
lengkap atas peristiwa paling tragis itu. Sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh adalah penulis domestik pertama yang menulis versi ini, bukunya berjudul
Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia, terbitan Jakarta, 1968. Penulis
luar negeri yang dikategorikan masuk dalam versi ini adalah Arnold Brackman,
penulis buku The Communist Collapse in Indonesia, terbitan New York tahun 1969.

b. G 30 S adalah Persoalan Internal AD 
Versi kedua beranggapan bahwa G 30 S adalah persoalan internal AD yang
didalangi sebuah kelompok terbatas. Persiapan gerakan dilakukan secara teliti oleh
kelompok tersebut, dengan cara menyusupi PKI. Versi kedua ini ditulis oleh MR.

Siregar (Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus
yang Diterima sesudah Perang Dunia Kedua - terbit pertama kali tahun 1993 di
Amsterdam). The 30 September Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk
dalam versi kedua ini. Demikian pula Cornell Paper (A Preliminary Analysis of the
October 1, 1965: Coup in Indonesia) karya Ben Anderson dkk, yang diterbitkan di
Ithaca, 1971. Whose Plot ? New Light on the 1965 Events karya WF. Wertheim juga
mengacu pada versi yang memojokkan ABRI, khususnya Angkatan Darat ini. Buku
karya Wimandjaja K. Litohoe, Primadosa, juga mengarah pada sintesis bahwa G 30
S merupakan kudeta yang dirancang oleh sekelompok orang AD dibawah pimpinan
Soeharto.
Penyusunan Mozaik ...
Bisa dikatakan bahwa tahun 1965 merupakan puncak krisis politik di Indonesia.
Tahun ini diawali dengan hancurnya BPS (Barisan Pendukung Soekarno) sebuah
barisan yang sebetulnya bercorak oposisi terhadap Soekarno tetapi menggunakan
kamuflase politik .. (salah satu anggota BPS yang sampai sekarang masih hidup
adalah Ibu Sudjinah, beliau pernah ditahan lama sekali oleh rezim Orde Baru,
sekarang beliau mengajar bahasa Inggris private dan juga sedang mempersiapkan
memoarnya untuk diterbitkan). 
Keputusan Presiden Soekarno untuk keluar dari PBB juga merupakan salah satu
pemicu dari keributan-keributan yang kemudian terjadi di tahun 1965. Dengan
keluarnya Indonesia dari PBB, otomatis perselisihan antara Soekarno dan "Nekolim"
semakin meruncing tajam. Keluarnya RI dari PBB menyebabkan timbulnya spekulasi
bahwa kita akan semakin dekat dengan "Kawan di Utara" yang dalam hal ini adalah
RRT. Bahkan terdengar sas-sus bahwa kemungkinan Indonesia akan mendapat
senjata nuklir dari pemerintah RRT yang pada masa itu dipimpin oleh PM Chou En
Lai. 
Situasi Indonesia sangatlah buruk, dengan turunnya ekspor dan besarnya pinjaman
untuk keperluan tentara, mendongkrak utang luar negeri  jadi US$ 2,4 miliar. Tapi
yang paling berpengaruh terhadap gejolak politik dalam negeri kondisi kesehatan
Bung Karno. Ia menolak anjuran tim dokter dari Wina, Austria, agar penyakit
ginjalnya dioperasi. Keengganannya itu disebabkan nasihat seorang dukun yang
meramalkan bahwa ia akan mati oleh pisau!. Kemudian ia berkonsultasi dengan para
dokter-dokter dari Cina dan memilih cara pengobatan secara akunpunktur. Sempat
dalam salah satu pidatonya di bulan Januari 1965, Bung Karno mengejek "desasdesus Nekolim" yang mengeluarkan rumors tentang sakitnya.
Faktanya, gangguan kesehatan Bung Karno tidak dapat disembunyikan lagi. dalam
suatu pertemuan umum tanggal 05 Agustus 1965, ia diserang sakit yang kemudian
timbullah desas-desus kuat bahwa ia sedang dalam keadaan gawat. 
Kecemasan perebutan kekuasaan pun akhirnya timbul. Hal lain terjadi adalah ketika
pada tanggal 30 September 1965, siang hari (beberapa jam sebelum penculikan
para jenderal-jenderal TNI AD), ditengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno
terpaksa berhenti. Rupanya disebabkan oleh kurang enak badan. Beberapa menit
kemudia, ia melanjutkan pidatonya. 

Dan kemudian terjadilah peristiwa tragis itu. Sekelompok orang menyusun sebuah
rencana - yang masih spekulatif apakah berada dalam sebuah skenario besar atau
bukan - yang rentetannya sangat panjang. Dini hari 1 Oktober 65, enam jenderal dan
satu perwira pertama AD menjadi korban kelompok tersebut. Peristiwa ini dengan
cepat merubah peta politik Indonesia. Pilar kekuasaan Presiden Soekarno, yakni
golongan kiri (baik yang komunis maupun nasionalis) sama - sama hancur. Ayunan
pendulum politik bergeser pada AD. Terbunuhnya jenderal-jenderal loyalis terhadap
Soekarno, semakin memperburuk posisi dan kondisi sang "Founding Father"
tersebut
Kendati sangat menyadari bahwa PKI berada di sisi yang tidak menguntungkan dan
demikian juga dengan AURI, Presiden Soekarno tetap memainkan kartunya (yang
benar-benar sudah sangat lemah) untuk mempertahankan kekuasaan. Dia tinggal
memiliki beberapa jenderal AD yang masih dapat dipercaya, serta segelintir politisi
yang loyal. Namun seberapa jauh ia mampu bertahan ?




Sebenarnya dulu ada kumpulan surat-surat dari Ir.Soekarno kepada Istrinya Dewi yang bila memang apabila ini real bisa menjadi bukti sejarah apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu karena surat pribadi umumnya akan lebih lugas dan apa adanya.



Soekarno prihatin sekali dengan situasi pasca G 30 S, ketika terjadi saling bunuh  diantara sesama bangsa Indonesia. Soekarno memandang, pembantaian terhadap  orang-orang komunis yang dilakukan di seluruh negeri, merupakan sesuatu yang  "merusak hasil kerjanya selama duapuluh tahun".  
Kita memang harus melihat sikap Soekarno sebagai sikap seorang negarawan, founding father, yang berobsesi membangun Indonesia yang plural -- bahkan pluralitas ideologi yang digambarkannya dalam konsep (yang kini jadi utopis), yakni NASAKOM. Keprihatinan Soekarno terhadap aksi pembantaian orang-orang komunis, tampaknya dilandaskan pada aspek persatuan bangsa.  



Bulan November 1965, Presiden Soekarno membentuk Factfinding Comission (Komisi Pencari Fakta) untuk menertibkan, membersihkan dan menyelesaikan oknum-oknum sipil yang tersangkut G 30 S. Panitia Presidium -- juga disebut sebagai Panitia III Menteri -- ini beranggotakan Oei Tjoe Tat dari Partindo, Brigjen. Pol. Moedjoko (secara politis dekat dengan Waperdam III Chairul Saleh) dan H. Aminnudin Aziz (seorang tokoh Nadhlatul Ulama). Namun akhirnya Panitia itu gagal total. Sementara situasi politik semakin panas. Demonstrasi terus terjadi. Universitas Res Publica (sekarang menjadi Universitas Trisakti) didemonstrasi, ditembaki dan dibakar massa Soekarno tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perlahan tapi pasti, dia dilolosi oleh kekuatan baru, yakni aliansi antara AD, mahasiswa, serta masyarakat yang tidak sepaham dengan PKI maupun aliran kiri pada umumnya. 


Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, bertutur bahwa beberapa hari sebelum 30 September 1965, Presiden Soekarno  memanggil Jenderal Yani.



Bung Karno bertanya, "Saya mendapat informasi tentang Dewan Jenderal yang mau bikin kudeta pada 05 Oktober. Apakah kau tahu?"


Jenderal Yani menjawab: "Saya tahu. Mereka sudah ada di tangan saya. Bapak enggak usah khawatir." Bung Karno percaya Yani. 



Tetapi nyatanya, Jenderal Yani menjadi salah satu korban penculikan G 30 S.  Ketangkasan Mayjen Soeharto meredam aksi G 30 S memancing kecurigaan Dewi. Katanya, "Sepertinya, Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan.  Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu Cepat. Kalau belum tahu rencana G 30 S, ia tak 


mungkin bisa melakukannya." Bagaimana dengan Soekarno ?, apakah dia mengetahui gerakan tersebut ? Menurut Ratna Sari Dewi, "Bapak tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Tanggal 01 Oktober, Bapak masih ada di Jakarta dan saya bisa mengunjungi dia di Halim. Jadi hari itu, Bapak tidak kirim surat. Ini surat tanggal 2 yang dikirim dari Istana Bogor. Isinya, dia baik-baik saja, sedang sibuk menghadiri petemuan dengan para petinggi militer guna menyelesaikan konflik  militer. Bapak membantah keterlibatan PKI dan hanya menyebut konflik dua kelompok militer." 
  
Memang, tanggal 02 Oktober itu Bung Karno mengirimkan surat kepada istri yang konon paling dicintainya itu. Begitulah kebiasaan Bung Karno bila dia tidak sempat berkunjung ke Wisma Yaso, tempat kediaman Ratna Sari Dewi. Aktifitas Bung Karno dalam hari-hari pertama setelah G 30 S meletus, memang tidak banyak. Mobilitasnya sangat terbatas. Pada tanggal 1 pagi di Halim, sorenya ke Istana Bogor, dan tinggal disana untuk beberapa hari sambil memantau situasi.  Esoknya, tanggal 3 Oktober, Dewi kembali mendapat surat dari suaminya. Isinya secara detail: surat Soekarno kepada Dewi


Baca Surat 1


"Dewi sayangku, saya senang menerima dua pucuk suratmu. Saya senang kamu 
mendengar perkataanku dan terima kasih kamu menaruh perhatian. Pranoto agak 
lemah, tapi hanya dia di Mabes Angkatan Darat yang bisa berhubungan dengan 
pihak kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care-taker Panglima AD untuk 
menangani urusan sehari-hari AD. Komando AD tetap ada di tangan saya. Segera 
sesuatunya tentang kembali, saya akan menunjuk Komandan AD definitif. Saya tidak 
tahu dimana Yani atau apa yang sesungguhnya terjadi dengannya. Segera 
sesuatunya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Saya tetap memikirkanmu. Kamu 
tahu betapa cintaku kepadamu.” 

1000 cium,  

Soekarno

banyak hal penting. Pertama, Soekarno menghendaki AD dipegang orang yang netral, tidak condong ke kanan atau kiri. Keinginan seperti ini sangat logis, apalagi Dari surat tertanggal 03 Oktober 1965 yang dikirim dari Istana Bogor, diketahui Kedua, Soekarno belum mengetahui nasib Yani dan jenderal-jenderal lain yang mengingat jiwa nasionalisme Soekarno  yang amat orientasi pada persatuan. barangkali agak kontradiktif dengan dugaan Ulf Sundhaussen bahwa pada tanggal diculik Gerombolan 30 September. Apa yang tertulis dalam surat Soekarno ini, 


03 Oktober, Soekarno sudah mengutus salah seorang perwira Cakrabirawa untuk mengambil jenasah para jenderal. Sebuah surat tertanggal 05 Oktober dikirimkan lagi kepada Dewi.
Isinya antara lain:

Baca Surat 2


“Sayangku, Dewi. Hari ini pemakamaan enam jenderal dan satu ajudan jenderal. ... 
Soebandrio dan Leimena tidak mengikutiku menghadiri upacara pemakaman karena 
alasan keamanan. Mereka mengatakan tak ada seorang pun yang yakin apa yang 
terjadi pada suasana upacara yang emosional begitu. Sayangku, perasaanmu benar:  
...... adalah seorang mata-mata. Namanya tertulis didalam daftar orang-orang yang 
kita curigai. Saya memanggil enam jenderal yang lain untuk berbicara dengan 
mereka setelah upacara pemakaman itu: Moersid, Sutardio, Ashari, Dirgo dan Adjie 
dari Bandung. Mereka adalah jenderal-jenderal yang berpengaruh di Angkatan 
Darat. Untuk jenderal-jenderal yang terbunuh, kita tunggu hasil investigasi rahasia 
kita: apakah mereka benar-benar akan melakukan kudeta terhadap saya atau tidak ? 
Informasi bertentangan satu sama lain. Benar, mereka semua 'communistophobie'. 
Tentang Mr. P., saya akan menceritakan  kepadamu nanti. Saya tidak dibawah 
pengaruh seorang pun. Jangan khawatir tentang itu. Begitu kondisi mereda, saya 
akan pindah ke Jakarta. Saya sangat rindu kamu, istriku. Oh, cintaku, aku cinta 
kamu. "  

Oh, 1000 cium, 

Soekarno




Ada yang janggal dari surat ini. Yakni pernyataan Bung Karno sendiri bahwa dia menghadiri acara pemakaman para jenderal yang terbunuh. Menurut banyak sumber, Bung Karno tidak hadir dalam acara tersebut. Sejumlah analis memperkirakan, ketidakhadiran Presiden dalam acara pemakaman para jenderal Pahlawan Revolusi (yang memungkinkan pidato Nasution menjadi headline yang abadi) bernuansa politis. Tindakan itu mencerminkan pandangannya, bahwa G 30 S adalah persoalan intern tentara, khususnya AD.  Pernyataan lain dari isi surat Bung Karno kepada Dewi adalah soal Mister P. Siapakah dia ? Betulkan dia mata-mata ? agaknya, hanya Bung Karno dan Dewi sendiri yang tahu tentang hal ini. 
Tanggal 08 Oktober, kembali Soekarno berkirim surat. Isinya antara lain:  

Baca Surat 3


"Dewi sayangku, jangan salah sangka terhadap saya. Saya tersenyum pada Sidang 
Kabinet untuk menunjukkan kepada dunia  bahwa saya aman dan bisa menguasai 
keadaan. (Kamu tahu pers Nekolim mengatakan saya jatuh atau hampir jatuh). Juga 
untuk memberi rakyat keyakinan dan kekuatan. Tahukah kamu bahwa saya 
menyatakan jenderal-jenderal yang terbunuh itu Pahlawan Revolusi dan saya 
menaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi ? Tahukah kamu bahwa saya 
memutuskan untuk memakamkan Irma Suryani (anak perempuan Nasution) di 
Taman Pahlawan ? Hanya lantaran keluarga Nasution memutuskan pemakaman 
begitu marah padaku ? Itu membuatku sedih dan terpisah. Tenanglah, sayang. Saya putrinya di Kebayoran. Saya tidak  tahu tentang Nyonya Martono. Mengapa kamu segera ke Jakarta kembali. Saya akan berbicara denganmu. Tenanglah, Dewi. 
Jangan membuat aku terpisah. Aku cinta kamu."  

1000 cium,  

Soekarno



Seandainya surat-surat Soekarno itu sungguh-sungguh otentik, bisa saja semua itu menjadi bahan kajian sejarah yang sangat penting. Dalam surat-surat yang bersifat pribadi, biasanya tercurah banyak hal tanpa kamuflase. Otentisitas sejarah sebetulnya bisa didapatkan dari sana, tentu seandainya pemilik dokumen pribadi itu tidak berkeberatan surat-surat pribadi itu diuji otentisitasnya.  
Betapa pun pengakuan Dewi Soekarno tentang suaminya di hari-hari beraksinya G 30 S, memberikan nuansa yang lain.

selain itu kita juga dapat mendengar pengakuan bahkan versi versi lainnya menyangkut G30S/PKI seperti : 

  • Soal Pembunuhan Pasca G30S, NU lebih jujur dari Katolik (Wawancara Radio Netherlands 27.09.2005)
  • 49 Tahun G30S, Kasusnya Masih Misteri  (Wawancara Renesi 27.09.2005)
  • Solahudin Wahid: Setelah 40 Tahun Peristiwa G30S Berlalu Bagaimana kita melihatnya
  • Solahudin Wahid: Menyikapi G30S
  • Solahudin Wahir: PKI dan Rekonsilias
  • Baskara T. Wardaya: Tentang Tragedi 1965
  • Fairimel A. Gofar: Kapan Peristiwa G30S Diungkap
  • Selalu Ingat Kekejaman PKI
  • Ilmuwan Ceko Bongkar Konspirasi dibalik Kudeta PKI 1965
  • G30S dalam Pelajaran Sekolah
  • Upaya Penghancuran Keturunan Yang Tersisa
  • Diskusi: "Siapa Dalang G30S"
  • Julius Pour: Mengkaji Peranan Bung Karno Pada tanggal 30 September 1965
  • Eep Saefullah Fatah: Mencari Dalang  Hal Gerakan 30 September ´65
  • Buku "Antology ´65
Dan masik banyak lagi kesaksian, versi dan pendapat tentang G30S/PKI, sangat sulit untuk menentukan versi mana yang benar tapi coba baca kumpulan/rangkuman berita ini http://www.wirantaprawira.net/pakorba/bagian_1.pdf untuk mengetahui tentang ini. dan jangan lupa untuk mencari tau referensi referensi baru karena kita tidak dapat menentukan latar belakang terjadinya G30S/PKI dengan satu versi. dan semoga nantinya ini semua akan terkuak kebenarannya

Tak Lupa masalah SUPERSEMAR


Ini adalah bagian terakhir surat Ben Anderson dan Ruth McVey, pakar Indonesianis berbangsa Amerika yang ditujukan kepada New York Times Book Review. Isinya mengkritisi tanggapan pakar lainnya bernama Francis Galbraith yang secara sederhana menarik kesimpulan gampang-gampangan mengenai apa yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1965. Ben dan Ruth malah menunjukkan fakta-fakta bahwa analisis CIA lebih patut diperhatikan, karena mengandung fakta-fakta 
yang banyak orang kurang memperhatikannya.
Dalam bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth, mereka minta perhatian pada kenyataan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesudah 1 Oktober 1965, setelah dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah, -- adalah p e m b a n t a i a n m a s a l, pembunuhan besar-besaran yang tidak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Tetapi yang oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini seperti terlupakan saja. Tak ada yang dimintai pertanggungan-jawabnya mengapa ratusan ribu, bahkan lebih satu juga manusia Indonesia yang tak bersalah, telah dibunuh, tanpa proses pengadilan apapun. 
Sungguh sulit dimengerti, bahwa begitu lama dunia politik, kalangan ilmuwan, khususnya ilmu sejarah di Indonesia bisa bungkam begitu lama mengenai masalah tsb. Kalau ada sesuatu yang teramat serius yang merupakan problim besar dalam hati nurani dan bawah-sadar bangsa ini setelah 60 tahun hidup sebagai bangsa merdeka, ialah k e b u n g k a m a n n y a terhadap pelanggaran HAM terbesar yang terjadi pada dirinya sendiri. 

Surat Ben dan Ruth itu ditulis 27 tahun yang lalu. Problim-problim dan analisis yang mereka ajukan masih tetap relevan. Masih tetap saja belum terjawab. Ada berita gembira bahwa baru-baru ini dinyatakan oleh kalangan yang bersangkutan mengenai arsip negara, bahwa mereka akan mengadakan penelitian dan pelacakan, dimana surat asli yang terkenal dengan nama SUPERSEMAR itu ? Namun, yang lebih penting lagi ialah berusaha mencari kebenaran, mengadakan penelitian dan studi yang mendalam oleh yang bertanggung-jawab, oleh pemerintah, mengenai masalah ini: APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada 1 OKTOBER 1965. Demi penulisan sejarah bangsa ini, untuk menjadi pelajaran di masa depan, khususnya bagi generasi baru kita: Adalah tanggung jawaba seluruh masyarakat, terutama penguasa, pemerintah dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah tsb; sampai dimana penguasa, aparat,  terlibat dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM demikian kolosalnya pada tahun-tahun 1965, 1966 dan 1967? 

Dalam kenyataannya, problim utama Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup yang melakukan kup itu, tetapi Presiden Sukarno., yang menolak klaim Suharto untuk menjadi pemimpin tentara dan sebaliknya mengajukan Pranoto yang lebih dipersacaya - seorang saingan lama Suharto. Namun akhirnya, -- setelah mengepung pangkalan udara dimana Sukarno berlindung, dan setelah ia memberikan hakikatnya suatu ultimatum kepada Presiden Sukarno - Suharto memperoleh apa yang dikehendakinya. Apakah perhatian CIA terhadap semua ini? Barangkali hanya menyerupai suatu keprihatinan historiographis yang keilmiah-ilmiahan. Atau barangkali Lembaga itu (CIA), memiliki koneksi yang lebih erat terbanding pada apa yang disimpulkan oleh analisisnya sebagai yang dikatakan "mungkin terbukti merupakan salah satu peristiwa terpenting pada periode pasca [Perang Dunia II]. Dampak (repercusions) politik dari kup tsb tidak hanya telah mengubah seluruh arah sejarah Indonesia tetapi ia merupakan efek mendalam terhadap cakrawala(scene) politik dunia, khsususnya 


yang menyangkut Asia Tenggara"


Memang, bagi CIA, tampaknya hal itu punya nilai tanpa suatu risiko kecil untuk mengakhiri "menggelundungnya dengan lancar ke Kiri" satu bangsa yang kelima besarnya didunia, khususnya pada saat dimana Amerika Serikat sedang sibuk melakukan perlawanan terhadap kemajuan menyeluruh kaum Komunis di Vietnam. Bila memang begitu, Lembaga itu (CIA) rendah hati sekali  mengenai apa yang dicapainya. Tetapi hal itu mungkin bisa dimengerti, karena move itu tidak hanya melibatkan enam orang jendral, tetapi, melibatkan suatu pogrom (pengejaran) yang menyertainya, yang merupaikan salah satu dari pembantaian terbesar dalam zaman kita. 

Sebagaimana disimpulkan oleh analisa CIA: Dalm hal jumlah yang telah dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu dari pembunuhan masal yang paling buruk pada abad keduapuluh, sama seperti pembersihan yang dilakukan Sovyet dalam tahun 1930-an, pembunuhan masal Nazi selama Perang Dunia II, dan pertumpahan darah Maois pada permulaan tahun 1950-an. Pada tanggapan kedua, kup Indonesia itu pasti merupakan salah satu dari peristiwa yang paling penting di abad keduapuluh, jauh lebih penting terbanding peristiwaperistiwa lainnya yang telah memperoleh banyak publisitas. 

Begitulah yang ditulis oleh CyntaWirantaprawira dalam bukunya Menguak Tabir Peristiwa 01 Oktober 1965 Mencari Keadilan.

dan ada versi dari buku A. Pambudi "Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jendral" th.2006 disebutkan

Konspirasi politik seputar peristiwa Gestapu dan akuisisi pemerintahan yang mengikutinya via Surat Perintah Sebelas Maret hingga kini masih menjadi objek yang diperdebatkan. Sekalangan media pernah berusaha mengungkap misteri di balik peristiwa yang memutar balik haluan politik Indonesia itu, dalam berbagai sudut pandang, asumsi, dan subjektivitasnya masing-masing. Setelah Sukarno File yang menuai perdebatan bahkan gugatan dari keluarga Bung Karno, Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal adalah tulisan yang dengan kejelian setara mengungkapkan fakta kronologis di balik turunnya perintah Bung Karno kepada Soeharto pasca-peristiwa Gestapu, secara komprehensif.

Ihwal peristiwa, situasi, dan kondisi politik yang melatarbelakangi turunnya Surat Perintah Sebelas Maret hingga kini memang masih merupakan fakta di balik tabir gelap kekuasaan Orde Baru. Ben Anderson misalnya, percaya bahwa Soeharto adalah pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakharmonisan hubungan antara kubu Angkatan Darat dengan pemerintahan Bung Karno, dan secara taktis telah merencanakan untuk melakukan kudeta secara “halus”, dimulai sejak peristiwa Gestapu hingga turunnya Supersemar yang kemudian memuluskan jalannya untuk mengambil alih kekuasaan. Asumsi-asumsi pun berkembang seputar peristiwa penandatanganan surat perintah tersebut oleh Bung Karno di Istana Bogor. Beberapa pihak meragukan isi surat perintah tersebut yang dinilai tidak wajar dan seolah-olah dibuat di bawah tekanan. Keberadaan surat perintah yang asli adalah sebuah tanda tanya besar, bahkan keraguan. Benarkah surat perintah yang asli masih ada?

Dalam Supersemar Palsu dimuat tiga versi surat perintah. Dua di antaranya adalah yang disimpan di Sekretariat Negara, dengan perbedaan antara satu dengan lainnya terletak pada tanda tangan Bung Karno. Satu sisanya adalah kopian surat perintah yang disimpan oleh M. Jusuf yang, berbeda dengan dua versi lainnya, terdiri dari dua halaman. Tak ada perbedaan isi yang signifikan di antara tiga versi surat perintah ini. Tetapi sampul buku Supersemar Palsu memuat tagline yang cukup provokatif: Ada tiga versi naskah asli Supersemar. Dua di antaranya pasti palsu, bahkan mungkin ketiganya palsu. Bahkan mungkin ketiganya palsu; sebab Kemal Idris dalam memoarnya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1996) menyebutkan kewajiban mengembalikan kekuasaan ke tangan Bung Karno sebagai Presiden RI setelah tugas dilaksanakan, sebuah poin yang tak ada di dalam ketiga versi surat perintah tersebut.

“Saya sempat membaca surat itu, yang memberikan kekuasaan kepada Pak Harto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, kekuasaan dikembalikan kepada Bung Karno sebagai Presiden RI. Surat itu dikenal dengan nama Supersemar...” (hal.310)

Kewajiban Letjend Soeharto untuk mengembalikan kewenangan kepada Bung Karno setelah tugas mengamankan situasi negara selesai dilaksanakan ditegaskan pula oleh Subandrio (waktu itu Waperdam I RI) dan A.H Nasution. Kenyataannya, Supersemar ditafsirkan melalui tindakan yang diasumsikan oleh banyak orang “melampaui” kewenangan yang diberikan Bung Karno. Kedudukan hukum Supersemar bahkan diperkuat oleh Soeharto dengan menggiring pengukuhan surat perintah itu menjadi Ketetapan MPRS no. IX/MPRS/1966. Sementara keberadaan Supersemar yang asli telah tak tentu rimbanya sejak diserahkan kepada Letjend Soeharto, 11 Maret 1966, sekira pukul 22.30 WIB di Makostrad.

Selain memuat tiga versi Supersemar yang berhasil terlacak, Supersemar Palsu menuturkan kesaksian tiga jenderal yang berperan dalam penerbitan Supersemar pada waktu itu: Soeharto, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Inilah poin penting Supersemar Palsu, di mana penyusun mengkonfrontir kesaksian ketiga pelaku sejarah tersebut, yang dengan perspektif, kepentingan, dan subjektivitas masing-masing menyampaikan kronologi peristiwa seputar Supersemar. Selain kesaksian mereka, dimuat pula wawancara dengan beberapa tokoh di lingkungan Istana, Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dimuat pada tabloid Detak tahun 1999 dan Majalah D&R tahun 1998, serta memoar beberapa saksi sejarah seperti Kemal Idris dan Mangil (mantan pengawal pribadi Bung Karno). Dari kesemua kesaksian yang dimuat dalam Supersemar Palsu, beberapa fakta detail dalam kronologi peristiwa masih simpang-siur. Tetapi pada hakikatnya, buku ini menunjukkan demikianlah sejarah yang tak pernah lepas dari subjektivitas pelaku dan penuturnya, dan seperti inilah fakta sejarah semestinya dipaparkan secara komprehensif. Seperti ditandaskan oleh penyusunnya, paparan fakta dalam Supersemar Palsu tak akan mengubah sejarah. Tetapi pengungkapan fakta baru akan mengubah penulisan sejarah mengenai Supersemar. Sebuah sisi sejarah yang layak diketahui oleh pewaris bangsa. 





Mari Kita berfikir cerdas dengan memilah dan memilih versi-versi yang beredar dengan membandingkan beberapa sumber. dan jangan jadikan artikel ini patokan karena ini hanya ulasan dari beberapa versi semoga teman-teman dapat menemukan versi yang akurat.

Semoga Artikel ini dapat membantu. Ungkap Kebenaran Dibalik G 30 September / PKI


sumber:

  • buku A. Pambudi "Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jendral" th.2006
  • CyntaWirantaprawira dalam bukunya Menguak Tabir Peristiwa 01 Oktober 1965 Mencari Keadilan
  • buku Bunga Tabur Terakhir karangan G.M SUDARTA terbitan Galangpress 2011
  • “Buku-buku Soal D.N. Aidit: Setelah Keluar dari Laci Penulis”
  • http://www.wirantaprawira.net/pakorba/bagian_1.pdf
  • http://truth4seeker.blogspot.com/2012/01/fakta-dibalik-supersemar.html
  • http://media.kompasiana.com/buku/2012/03/28/merekonstruksi-sejarah-g30s/
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
  • http://indonesiabuku.com/?tag=g-30-s

Baca Juga Yang Ini Sob:

Artikel Terkait

Komentar Facebook
2 Komentar Blogger

2 comments:

Anonymous said...

Hi, really like the appearance of ones website. Can you mind saying what theme youre making use of? I’m not used to this and i am hoping to have mine looking anywhere close to cool as yours. Many thanks.

Anonymous said...

I have a problem with the overall premise of your article but I still think its really informative. I really like your other posts. Keep up the great work. If you can add more video and pictures can be much better. Because they help much clear understanding. :) thanks