Oleh: Merry Magdalena / @merry_mp
Kabar baik bagi para blogger yang menjalankan kegiatan jurnalis warga (citizen journalist), sebab kini sudah mulai diakui sebagai salah satu ranah jurnalistik di Indonesia. Dan jika tersangkut suatu kasus terkait penulisan, ada yang siap mengadvokasi. Namun tetap ada hal yang layak diwaspadai. Apakah itu?
“Jurnalisme warga diakui sebagai salah satu ranah jurnalisme, selama mengikuti kaidah jurnalistik. Jika ada jurnalis warga yang bermasalah, Dewan Pers dan LBH Pers siap mengadvokasi,” demikian ditegaskan Dandhy Dwi Laksono, Ketua Divisi Penyiaran dan Media Baru, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Forum Discussion Group (FGD) yang digelar ICT Watch, Sabtu malam, 7 Juli 2012.
Menurut Dandhy yang juga sutradara film Linimassa2, yang dibela adalah hak penyebaran informasi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, tanpa memandang apakah seseorang itu jurnalis atau bukan. Sebab tak selalu jurnalis menghasilkan karya jurnalistik, dan tak selamanya non jurnalis tidak menghasilkan karya jurnalistik. “Seperti saat saya membuat film dokumenter pesanan, maka saya sedang tidak melakukan kegiatan jurnalistik, walau profesi saya sebagai jurnalis,” ujar Dandhy. Adapun sebaliknya, menurut Dandhy, saat blogger menulis artikel yang memenuhi kaidah jurnalistik, maka ia layak disebut jurnalis.
Kendati ada badan yang siap mengadvokasi para blogger atau jurnalis warga, ternyata tetap ada yang harus diwaspadai. Ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjadi jeratan hukum bagi blogger. Hukumannya tidak tanggung-tanggung, 6 tahun penjara.
“Walaupun sudah ada yang akan membantu advokasi dari Dewan Pers ataupun LBH Pers, bukan berarti blogger bisa bebas semaunya atau boleh merasa aman. Ingat, ancaman hukuman UU ITE Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik di Internet, adalah maksimal 6 tahun!” ujar Donny B.U., Direktur Eksekutif ICT Watch, pada kesempatan serupa.
Dan berdasarkan hukum di Indonesia, polisi berhak menahan seseorang untuk pemeriksaan, jika tuntutan hukumannya di atas 5 tahun. “Jadi walaupun belum terbukti bersalah, blogger bisa tetap masuk penjara dulu setidaknya untuk 20 hari ketika diperiksa polisi, walaupun ada advokasi dari manapun. Ini berbeda dengan jurnalis yang bekerja di media, yang apabila ada kasus maka bisa langsung berlindung pada UU Pers. Blogger tidak dilindungi UU Pers. Walau blogger sudah menulis dengan kaidah jurnalistik, 99,99% akurat, tetapi ada pihak yang merasa namanya tercemar dengan 0,01% saja isi postingan di blog, maka dengan mudah pihak tersebut akan dapat memenjarakan blogger,” demikian ditegaskan Donny.
Bermain “Cantik”
Kapan seorang blogger dapat disebut sebagai jurnalis warga? Begitu ia menulis isu publik, maka ia sudah layak disebut sebagai jurnalis warga. Isu publik di sini adalah semua yang berhubungan dengan politik, hukum, sosial, ekonomi, layanan publik, dan banyak lagi. Jadi tulisannya bukan lagi sekadar curhat colongan alias “curcol” lagi.
Purwaka, atau lebih dikenal dengan Blontank, jurnalis sekaligus blogger senior memberi input bagaimana agar blogger dapat “bermain cantik” dalam menulis.
“Teman-teman blogger bisa coba menulis dengan mengaburkan identitas seseorang yang ada dalam postingan. Misalnya narasumber yang kita tulis, tidak perlu disebutkan namanya. Hal serupa juga sering dilakukan media mainstream,” ujar Blontank.
Caranya, menurut Blontank, misalnya dengan menulis ‘….. demikian menurut sumber yang tidak ingin disebutkan namanya…..’ . atau bisa juga dengan membuat inisial atau nama alias. Langkah ini dapat menghindarkan blogger dari gugatan hukum pihak tertentu. “Bagaimana mau digugat, jika identitas sumber atau tokohnya dikaburkan,” tandasnya.
Pembahasan seputar jurnalis warga ini hanya salah satu dari sekian banyak topik menarik yang didiskusikan di FGD ICT Watch, 6-8 Juli 2012 kemarin. FGD yang dihadiri 70-an blogger dari seantero Nusantara ini, merupakan acara tahunan ICT Watch, dan tahun ini memasuki tahun ke-2. Blogger yang hadir berasal dari beragam komunitas dariAceh, Pekanbaru, Palembang, Bogor, Depok, Bekasi, Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Samarinda, Pontianak, Makassar, Ende, Jayapura.
FGD diawali dengan screening perdana film Linimassa2, pada Jumat malam, 6 Juli 2012. Linimassa2 merupakan film yang berkisah mengenai pemanfaatan internet oleh rakyat Indonesia di beberapa daerah secara positif. Linimassa2 diproduksi oleh WatchdoC, mengambil contoh kasus konflik Ambon, serta bagaimana warga Desa Mandalawangi di Tasikmalaya mampu berjuang mendapatkan akses informasi dengan segala keterbatasannya. Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini dibiayai secara crowdfunding yang pihak-pihak yang peduli pada pemanfaatan internet secara positif bagi rakyat Indonesia.
Ekstra Parlementer & Ekstra Redaksional
Esok harinya, Sabtu 7 Juli 2012, digelar Seminar Kebebasan Berekspresi di Internet, bertempat di Gedung IDC, Duren Tiga, Jakarta. Hadir sejumlah pembicara seperti Lokman Tsui (Policy Adviser Google, Hongkong), Shita Laksmi (Researcher, Hivos Office), Marian F Barata (Direktur Informatika, Kemkominfo),Ayu Oktariani (Indonesian AIDS Coalition), Dandhy Laksono (Film Documentary Maker), dan Yogi Nugraha (News Manager, Kompas TV).
Yang menarik dari acara ini, Yogi Nugraha, News Manager Kompas TV menyebutkan media komunitas yang menggunakan blog maupun social media (Facebook, Twitter, YouTube), dapat menjadi penyeimbang media mainstream. ”Jika dulu ada istilah ekstra parmelenter, maka kini dibutuhkan ekstra redaksional. Jika penguasaan media besar tidak dikawal oleh media komunitas maka akan muncul dominasi informasi oleh media besar, yang dapat menggiring opini publik.” ujarnya.
Isu-isu yang luput dari ekspos media mainstream, seperti misalnya kelapa sawit atau kasus HIV/AIDS, dapat diperjuangkan melalui media komunitas yang menyuarakannya terus-menerus, sehingga akan menarik perhatian publik juga.
Yogi juga mengatakan bahwa media mainstream pun kini sering menerima kritik dari media komunitas melalui social media. ”Misalnya, jika ada salah penyebutan nama atau data, langsung diprotes melalui Twitter,” katanya.
Menurut Dandhy Dwi Laksono, menyuarakan isu-isu publik oleh warga kini bukan suatu hal yang sulit, mengingat begitu banyak media di internet yang dapat dimanfaatkan, seperti blog, milis, Facebook, Twitter, YouTube, dan banyak lagi. ”Di masa sebelum ada internet, jika kita menulis artikel maka harus memikirkan biaya cetak, sebab harus dalam bentuk selebaran atau buletin, lalu dibagikan ke publik. Kini tidak lagi, cukup dengan mengunggahnya ke internet, maka dengan mudah dapat dipublikasikan ke banyak orang,” kata Dandhy yang sempat lama berdomisili di Aceh.
Inti dari serangkaian acara FGD ini adalah semakin menegaskan pentingnya warga berperanserta dalam menyuarakan opini dan masalahnya melalui blog, Facebook, Twitter, dan social media lain, agar kepentingan warga tidak terlindas oleh dominasi media mainstream yang dimiliki pemilik modal. Dengan peran semua warga menyuarakan opininya, maka mereka dapat mendesak pemerintah agar segera memfasilitasi kepentingan rakyat. Selain itu, jurnalisme warga juga mampu menuntut transparansi negara dalam menyusun kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bahkan menekan korupsi. Mungkinkah itu dilakukan? Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Terus berjuang, blogger Indonesia!
Penulis adalah eks jurnalis harian umum Sinar Harapan, Founder Netsains.Net, eks Chief Editor Top Career Magazine, penulis sejumlah buku, dan kini adalah Content Coordinator ICT Watch/Internet Sehat.
Foto-foto: ICT Watch