Saturday 21 July 2012

R.A Kartini dan Suratnya


Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.


Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

Dan saya menemukan karya dari sobat kita di katawaktu.com yaitu Sketsa atas Surat-surat Kartini :


...Peristiwa itu terjadi di lapangan. Manusia dan binatang berkumpul memanjatkan doa kepada Yang Maha Tinggi, memohonkan air tercurah dari langit untuk memberi minum tanah yang kehausan.
Di depan sekali duduk para haji laki-laki dan santri. Di belakang duduk para haji perempuan dalam pakaian putih. Dan di kanan-kiri duduk ratusan orang laki-laki, perempuan dan anak-anak...(Surat Kartini kepada Mr. H.J. Abendanon 1 Februari 1903)

Pagi hari itu, 5 Desember 1999, peristiwa serupa terulang lagi. Puluhan santri terlihat bergegas menuju alun-alun kota Jepara. Satu blok panggung didirikan dan sound systemdisiapkan. Kali ini untuk sebuah soal yang lebih pelik dari sekadar minta hujan. Mereka akan berunding perihal kesatuan bangsa ini, dan prospeknya ke depan yang dirundung mendung. Speaker mendengung. Selembar spanduk panjang terbentang antara 2 tiang telepon. Di sana tertulis nama seorang perempuan: Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sekaligus petinggi Partai Kebangkitan Bangsa, yang dijadwalkan tampil sebagai pembicara.
Hanya beberapa meter seberang alun-alun itu, saya sedang mencuri-curi duduk pada sebuah kursi kayu berwarna gelap. Di hadapan saya sebuah meja tulis dengan bahan serupa. Saya mengusap permukaannya. Kurang lebih seabad lalu, pada perabot yang kini kusam dan agak berdebu itulah, Kartini duduk sembari menuliskan surat-suratnya yang panjang, intens, dan penuh gagasan perihal pemerdekaan perempuan. Saya membayangkan, bagaimanakah perasaannya bila ia lihat di alun-alun itu, seorang perempuan "Hindia" dengan gelar akademis dan jabatan formal yang tinggi akan tampil di depan publik, mengemukakan pendapatnya entah membela atau mengkritik pemerintah? Bagaimanakah perasaannya bila ia tahu semua itu bukan lagi tabu?
Di luar hari makin riuh. Bendera PKB berkibar di mana-mana. Doa-doa berkumandang. Sementara ruang berpenampang huruf K yang disebut museum ini tampaknya akan tetap hening sendiri. Hanya mereka yang tak punya kerja di Minggu pagi itulah yang akan mengunjunginya. Setelahnya penjaga akan mengunci rapat pintu museum ini dan benda-benda sejarah di dalamnya kembali tak terjamah. Diam membisu dengan kenangan panjang akan seorang putri yang terkurung dalam pendopo besar yang disebutnya "sangkar", yang tak bisa berbuat lebih selain menulis dan berharap.

...Bulan yang lalu, saya baru saja 20 tahun. Aneh, bahwa ketika berumur 16 tahun, saya memandang diri saya tua sekali dan kerap kali berhati murung. Dan sekarang, setelah saya melampaui umur 20 tahun, saya merasa muda sekali dan penuh gairah hidup dan... juga suka berjuang.
Panggil saya Kartini saja, begitu nama saya... (Surat pertama Kartini kepada Estelle Zeehandelaar 25 Mei 1899)
Kartini dilahirkan di Mayong, Jepara, 21 April 1879. Ayahnya, RMA Sosroningrat, waktu itu masih berstatus wedana Mayong, dan ibunya, Ngasirah, seorang gadis biasa anak buruh pabrik gula. Ayah Kartini yang saat itu telah beristrikan RA Woeryan, mengangkat Ngasirah sebagai garwa ampil setelah ia menjabat bupati Jepara. Kendati demikian, Kartini sekalipun tidak pernah tegas membedakan siapa yang dimaksudkannya dengan kata "ibu" dalam surat-suratnya. Seperti juga ia tidak pernah membeda-bedakan kesembilan saudaranya yang lain ibu.
Garis keturunan ayah Kartini dikenal sebagai keluarga yang berpandangan maju. Semua anak perempuannya disekolahkan sampai usia 12 tahun setara dengan anak laki-lakinya. Di masa itu, hal ini sungguh tidak biasa. Namun, menurut adat Jawa, saat menginjak akil balig seorang gadis harus memasuki masa pingitan, masa yang membuat Kartini benar-benar merasa tersiksa.
Pengalaman Kartini selama dipingit tidak bisa dibilang menghebohkan. Tapi dari kejadian-kejadian biasa dalam "sangkar" itulah ia mulai menyusun sikap hidupnya. Pertengkaran dengan kakaknya yang feodalistis, persaudaraannya yang bebas dan karib dengan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, bacaan yang dikirimkan oleh kakak laki-lakinya di Eropa, niatnya melanjutkan sekolah yang selalu ditentang ayahnya, serta pengamatan akan adat kesopanan masyarakat yang lebih tepat disebut kebodohan; semua itu telah menimbulkan gejolak dalam diri Kartini muda.
Jiwa Kartini selalu haus akan bacaan. Ia penggemar berat sastra, terutama karya Multatuli. Dan masa pingitan ternyata punya dampak baik juga baginya. Ia jadi punya waktu untuk merenung, membaca, dan akhirnya, menulis surat.
Surat, menurutnya, adalah salah satu penemuan terbesar manusia. Dengan surat, ia bisa melintasi benua untuk bercakap-cakap dan mengetahui pikiran orang lain. Dengan surat gagasannya dikelanakan dan ditempa; sebagian dituangkan kembali dalam bentuk karangan yang lebih umum.
Masih terbayang dalam kepala Kartini, teman Belanda masa kecilnya bernama Letsy yang pernah bertanya sambil lalu: "Katakanlah Ni, kamu mau jadi apa?" Kartini kecil terdiam tidak sanggup menjawab. Lalu ia bertanya pada ayahnya dan ayahnya cuma tertawa. Akhirnya, sang kakak menjawab: "Harus jadi apakah gadis-gadis? Ya jadi Raden Ayu, tentu saja!"
Sejak itu Kartini tahu ia harus jadi apa. Ia akan memberontak ke-Raden Ayu-annya: adat berabad yang memaksa gadis-gadis untuk kawin tanpa pernah sempat bertanya apa, siapa, dan bagaimana.
...Kami akan menggoncangkannya, Ibu sayang, dengan segala kekuatan walaupun yang akan runtuh cuma satu butir batu saja, maka kami akan merasa bahwa hidup kami tidak sia-sia...
(Surat Kartini kepada Ny. MCE Ovink-Soer awal tahun1900)
Kalau ada penghalang terbesar yang menghempaskan citra-cita Kartini, maka penghalang itu bukanlah semata kekuasaan yang kaku, melainkan juga perasaan tulus yang disebut cinta.
Cinta Kartini kepada orang tuanya begitu besar sehingga ia tidak pernah sampai hati menyedihkan mereka. "Bagaimana sepatutnya membuat kebajikan sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan melalaikan diri sendiri, ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri?" Bagai Kartini, mewujudkan kehendak diri sendiri dengan melukai hati orang-orang yang dicintainya adalah sejenis egoisme tertinggi. Meski begitu, dalam satu suratnya yang bernada masygul, ia sempat geram juga kepada ayahnya yang terus menerus mendengarkan pendapat masyarakat daripada suara hatinya. "...semuanya berkisar pada poros: pendapat umum!... Semuanya dikurbankan pada pikiran orang banyak... Lalu siapakah orang-orang itu? Cis!..."
Tetap, Kartini tak pernah sanggup bekerja tanpa restu orang tuanya. Sebab itulah ia selalu memohon izin sang ayah bagi setiap tindakannya, termasuk soal publikasi tulisannya. Di sinilah perasaannya terbentur-bentur antara "harus" dan "boleh". Kadang ayahnya memberi izin kadang tidak.
Untuk menyamarkan identitas, Kartini menulis dengan nama "Tiga Saoedara". Namun publik tak butuh waktu lama untuk mengetahui siapa penulis sebenarnya. Namanya tenar dengan cepat, meski bagi Kartini sendiri tulisan-tulisannya masihlah "omong kosong", karena ia tak punya kebebasan menyatakan pendapat pribadinya.
...Teman kami ingin melihat saya bekerja dengan pena saya untuk menaikkan derajat bangsa kami. Saya harus menerbitkan majalah atau yang sejenis dengan itu, yang membela kepentingan rakyat dan saya yang memimpin redaksinya. Atau, saya harus menjadi pembantu harian dan majalah terkemuka di Hindia, dan di situ menulis karangan-karangan yang tajam, yang harus membuat orang terbangun bahkan membuat orang-orang yang tidur nyenyak terkejut bangun!!...
(Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar 11 Oktober 1901)
Pada diri Kartini lah sejarah modern Indonesia bermula. Meski sebenarnya ia bukan seorang modernis dalam arti yang lazim. Dalam surat-suratnya, tak satupun didapati konsepsi-konsepsi yang saat itu marak ditentang maupun diperjuangkan seperti feodalisme, nasionalisme, atau sosialisme. Kartini tak menulis teoritis dan muluk-muluk. Ia cuma melihat ketidakadilan yang banyak menyengsarakan perempuan, anak-anak, dan masyarakat Bumiputera umumnya. Maka, kondisi itulah yang hendak dikikisnya habis. "Bagaimana mencapai cita-cita itu? Mulai dengan apa? Semua itu harus dimulai dari permulaan yaitu: pendidikan!"
Kartini pun menoleh ke Eropa. Hanya pendidikan Eropalah yang akan membebaskan masyarakat dari belenggu adat. Tapi Kartini tak berniat merobohkan total adat itu. Ia tak berniat merombak segala sesuatu. "Meruntuhkan sesuatu dapat dilakukan orang yang terbodoh, tetapi membangun?" Karenanya ia tak ingin tulisan-tulisannya menimbulkan kebencian dari pihak yang dikritiknya: suatu serangan balik yang menurutnya bakal menghambat perjuangan. Ia pilih cara moderat. Ia dirikan sekolah bagi putri-putri kepala Bumiputera dan belajar jadi guru.
Bagaimanapun juga, Kartini tetaplah seorang ningrat Jawa walau ia benci feodalisme. Baginya, kebangsawanan mengandung beban kewajiban, bukan hak. Seorang pemimpin patut dicintai rakyatnya. Karenanya, seorang pemimpin wajib mencintai rakyatnya.
Dalam soal pendidikan, Kartini percaya sungguh akan ampuhnya hirarki kekuasaan. Ia percaya rakyat akan meniru terobosan baik yang lebih dulu dicontohkan para pemimpinnya. Bahkan atas keyakinan yang agak naif, ia percaya bahwa pemerintah Hindia Belanda dengan semangat politik etisnya sedang mengusahakan sebaik-baiknya kesejahteraan penduduk Jawa.
Sikap-sikap inilah yang membuatnya berbeda dengan pemikir-pemikir modern Indonesia sesudahnya. Deklarasi Budi Utomo, aksi buruh Semaun, orasi Soekarno, buku-buku Tan Malaka dan Syahrir telah menyulutkobarkan api nasionalisme Bumiputera itu sampai ke baranya yang paling dahsyat. Satu tekad tak bisa dibantah: Belanda harus enyah! Paham kebangsaan Kartini belumlah segawat itu. Mungkin ada baiknya bila sejenak saya coba bandingkan beberapa segi tulisannya dengan karya-karya Tan Malaka atau Syahrir.
Tan Malaka dan Syahrir yakin bahwa masyarakat harus dirombak seluruhnya. Sebuah revolusi total mesti terjadi. Keduanya banyak memakai "kereta api" metaforik dalam karya mereka. Mereka percaya akan deru laju industrialisasi. Mereka bicara tentang pabrik dan kelas pekerja. Kartini tidak. Ia memilih bicara tentang panorama Pantai Bandengan, tentang alam pastoral Jawa dan masyarakatnya yang sederhana, tentang bunyi gamelan yang lembut mengetuk hati. Ia menulis sekali tentang kereta api dengan kalimat negatif. Tapi ia banyak bicara tentang kapal laut: penghubung tanah Jawa yang terisolasi dengan negeri Belanda, bangsa yang diyakininya bakal memperadabkan Hindia.
Akan lebih menarik, sekalipun spekulatif, bila perbedaan ini ditilik dari perspektif gender. Mungkinkah Kartini dituntut oleh naluri-naluri yang lebih purba ketimbang nasionalise? Mungkinkah sikap-sikapnya yang menolak ketegangan frontal, surat-suratnya yang sentimentil, dan metafor-metafornya yang tenang adalah manifestasi terjelas dari kualitas-kualitas feminim pada dirinya? Perlu diingat, tokoh-tokoh perjuangan "garis keras" sesudah Kartini semuanya pria.
... Bukan orang laki-laki yang kami lawan, melainkan pendapat kolot turun temurun, adat yang tidak terpakai lagi...
(Surat Kartini kepada Ny. MCE Ovink-Soer awal tahun 1900)
Kini, ketika sejumlah teori feminisme bergerak cepat bahkan saling bertabrakan satu sama lain, tidak begitu mudah sebenarnya memetakan pengaruh riil Kartini terhadap gerakan perempuan di Indonesia. Bahwa ia pelopor tak ternilai bagi pendidikan perempuan, itu benar. Bahwa praktek pingitan, kawin paksa, poligami –musuh besar Kartini— sudah bisa dikikis meski belum habis, itu juga benar. Tapi, masihkan ide-idenya relevan dengan zaman sekarang?
Secara agak menggampangkan, feminisme bisa dibagi jadi 2 arus utama: mereka yang menerapkan teori konflik dan yang tidak. Teori konflik memandang relasi gender sebagai relasi yang senantiasa konfrontatif, dan bahwa keluarga merupakan unit terdini tempat seluruh praktek penindasan kaum perempuan bemula.
Kartini jelas tidak seradikal itu. Ia tidak pernah sampai pada kesimpulan bahwa peran keluarga harus direduksi guna mencapai kehidupan sosial yang egaliter. Entah kenapa. Saat sosialisme sedang berderap kencang di Belanda, barangkali ia hanya belum sempat membaca Engels, meski ia baca tulisan Huygens. Atau barangkali pengamatan empiriknya memang jauh lebih tajam dan membumi dibanding para penganut teori konflik itu.
Kartini percaya bahwa peradaban hanya bisa berjalan baik dengan keseimbangan antara sekolah dan keluarga. Ia pernah menulis sedih tentang seorang anak lelaki yang memukul ibunya dan ia memastikan bahwa metode pendidikan si ibu yang penuh pukulan itulah yang mewariskan kekurangajaran. "Karena yang pertama-tama di pangkuan perempuanlah manusia menerima didikannya. Di sana mula-mula anak belajar merasa, berpikir, berbicara." Maka peran keluarga justru harus dimaksimalkan. Perkawinan harus dikembalikan pada cinta dan kaum ibu harus terdidik supaya mampu berandil lebih besar lagi. Hanya dengan inilah, generasi baru lelaki-perempuan yang saling menghormati bisa dilahirkan.
Tepat tidaknya argumentasi Kartini tentu bisa panjang diperdebatkan. Yang jelas, pertimbangan-pertimbangan itulah yang memantapkan putusannya untuk merima lamaran Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat, seorang duda dengan 6 anak. Sebagian sahabatnya tidak bisa memahami putusan Kartini. Saya juga tidak. apakah dasar persetujuan itu sejujurnya? Cintakah, atau malah pragmatisme yang agak keterlaluan?
Kartini, yang mengaku takkan pernah bisa jatuh cinta, akhirnya menulis "cinta itu ada, meskipun rupanya ketamakan memerintah seluruh dunia". Di samping itu ia juga menulis "Itu sejarah pertunangan saya. Lapangan kerja yang bagus dan luas terbentang bagi saya. Pengaruh istri bupati akan lebih besar daripada pengaruh anak perempuan bupati."
Malam itu, saya mencari tumpangan ke arah timur. Ke Rembang.
...Menyambut Sri Ratu tidak lebih meriah daripada menyambut saya. Seluruh rembang berpesta... Rakyat girang, turut bersorak sorai, karena Kepalanya yang dicintai itu bahagia...
... Ah. Andaikan tuan dan nyonya dapat melihat saya sebagai istri dan ibu yang masih muda, yang memancarkan rasa bahagia dari matanya, dan yang mulut serta penanya tidak dapat mencari kata-kata yang cukup untuk menyorakkan kemewahannya!... (Surat Kartini kepada tuan dan nyonya Abendanon 11 Desember 1903)
Kelihatannya Kartini memang bahagia. Sulit menduganya. Di zaman ketika kebahagiaan diukur dengan pemenuhan keinginan diri, terasa janggal menilai seseorang yang bahagia justru saat niat yang diperjuangkan seumur hidupnya batal. Bantuan pemerintah yang didambakan untuk belajar di Betawi dikembalikannya, dengan permohonan agar pemerintah menyerahkannya kepada Salim, pemuda cerdas dari Riau, yang kelak dikenal sebagai Haji Agus Salim.
Surat-surat periode Rembang yang makin jarang menunjukkan perasaan itu. Kartini seperti menyesali kesibukan barunya yang menghambatnya menulis. Tapi ia menuliskan sesal itu dengan bangga. Ia bangga akan sekolah barunya, akan anak-anaknya yang lucu dan cerdas, akan suaminya, dan terlebih, dalam surat tertanggal 6 Maret 1904 kepada Ny. RM Abendanon, ia bangga akan kehamilannya yang pertama dan sayangnya... yang terakhir. "Dapatkah Ibu membayangkan? Saya calon ibu!"
17 September 1904, empat hari setelah persalinan, Kartini meninggal. Usianya baru 25.

Beberapa dekade sesudah itu, di sekolah-sekolah, hari lahirnya diperingati dengan parade busana adat. Hari itu pula para penyiar teve tiba-tiba berkebaya. Keganjilan simbolik yang berulang tiap tahun. Di Rembang, pusaranya dikeramatkan. Orang-orang berdoa di sana minta berkat segala macam. Di Jepara, museum yang diabadikan baginya ternyata tak menyediakan literatur memadai tentang surat-surat yang ditulis di kota yang ramah itu. orang lebih suka bicara tentang bunga kantil, bunga kegemarannya, atau tentang lokasi tempat ari-arinya dikubur. Orang lebih suka bicara tentang kenangan daripada gagasan. Maka ia benar saat ia menulis tentang bangsa Jawa yang hidup dengan dongeng dan mitos-mitos. Mitos barangkali memang bisa mengekalkan banyak kenangan indah, tapi sekaligus membekukannya. Dan surat-surat Kartini, butuh penyikapan yang lebih dari sekadar kenangan.

Surat-surat Kartini adalah percakapan intim serta mesra, yang bila seluruh nama sebut di dalamnya dikaburkan sampai tak bisa dikenali lagi rujukan spesifiknya, ia nyata sedang bercakap-cakap dengan kita semua: Anda, saya, siapa saja. Surat-suratnya adalah hasrat menyudahi sebuah zaman yang pedih, saat kata-kata dirampas dari mulut perempuan dan kebebasan seluruh manusia sedang dipertaruhkan.
Maka Kartini sebenarnya bukanlah kenangan. Ia lebih menyerupai masa depan ketimbang masa silam. Sebuah tugas, sebuah revolusi, atau barangkali, sepancar terang, yang menurutnya sendiri "tidak bisa dipercepat tapi sudah ditakdirkan."
... Saya ingin tulisan saya tetap berkesan, Stella, dan dalamnya hanyalah dicapai dengan penggalian. Hati saya, jiwa saya harus disungkur, digali. Dan kalau di situ darah bersembirat seperti pemancar air, barulah tulisan itu mempunyai nilai yang tetap. Menyedihkan, tetapi nyata!...
(Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar 11 Oktober 1902)

(berbagai sumber - katawaktu, wikipedia)

Baca Juga Yang Ini Sob:

Artikel Terkait

Komentar Facebook
0 Komentar Blogger

0 comments: